MODEL DAN TEKNIK MENERJEMAHKAN
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur Mata Kuliah
Terjemah Arab-Indonesia
Dosen Pembimbing:
Dr. Akmaliyah,M.Ag.
H.M.Nurhasan,M.Ag.
Oleh:
·
Euis Mirnawati (1135020043)
·
Fakhria Zulfah (1135020045)
·
Heru Efendi (1135020060)
·
Iim Isailah (1135020063)
·
Imas Masitoh (1135020065)
·
Ira Siti A M (1135020068)
·
Khoiri M (1135020071)
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR i
DAFTAR
ISI ii
BAB
I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 1
C. Tujuan ........................................................................................................... 1
BAB
II: PEMBAHASAN
A. Definisi Metode dan Teknik Menerjemahkan ............................................... 1
B.
Langkah-langkah dan Model dalam Proses Penerjemahan ........................... 1
1.
Tuning (Penjajakan) ................................................................................ 2
a. Model
Heurmeunetik ........................................................................ 3
b. Model
Situsional ............................................................................... 3
c.
Model Stilistika ................................................................................. 4
2. Analysis
(Penguraian) ............................................................................. 5
a.
Model kata-demi kata ....................................................................... 5
b.
Model Sintaktik ................................................................................. 5
c. Model
Transformasional .................................................................... 6
3.
Understanding (Pemahaman) .................................................................. 6
a.
Model Interlingua ............................................................................. 7
b.
Model Semantik ................................................................................ 7
c.
Model Teori Informasi ...................................................................... 8
4. Terminology
(Peristilahan) 8
a.
Model Teori Nomenklatif ................................................................ 8
5. Restructuring (Perakitan)
....................................................................... 9
a.
Model Modulasi ............................................................................... 9
b. Model Generatif ............................................................................... 10
c.
Model Integral ................................................................................. 10
6.
Checking (Pengecekan) 10
a. Model Normatif dan Model Pengecekan Tiga ................................. 11
7.
Discussion (Pembicaraan) ...................................................................... 11
BAB
III: PENUTUP ......................................................................................... 12
DAFTAR
PUSTAKA ....................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menerjemahkan
merupakan upaya memindahkan pesan dari bahasa sumber kedalam bahasa sasaran,
atau memindahkan pesan penulis yang ada dalam bahasa sumber kedalam bahasa yang
dipakai penerjemah. Maka dari itu, seorang penerjemah harus _ias mencerna
tulisan yang dipakai penulis dalam bahasa sumber, memahami dan akhirnya
mengungkapkan seakan-akan penerjemah menguasai penulis dengan benar, kemudian
memilih kata demi kata dalam bahasa sasaran.
Namun dalam
proses penerjemahan kita sering menemukan berbagai kesulitan. Terkadang dalam
menerjemahkan satu baris saja kita membutuhkan waktu yang lama. Dengan adanya
masalah seperti itu, penyusun bermaksud untuk membuat sebuah makalah berjudul
“Model dan Teknik Menerjemahkan”.
Makalah ini berusaha untuk mendeskripsikan
tentang langkah-langkah dan model dalam proses penerjemahan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana cara mempermudah dalam menerjemahkan suatu
bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui berbagai cara yang dapat mempermudah
penerjemah dalam menerjemahkan suatu bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Metode dan Teknik Menerjemahkan
Metode adalah cara mengerjakan sesuatu, dan teknik adalah pola yang
mesti dilakukan dalam mengerjakan sesuatu itu. Dalam pembahasan ini, antara
metode dan teknik tidak ditampakkan secara implisit, baik perbedaannya maupun
persamaannya. Dalam pandangan ilmu terjemah, baik metode maupun teknik
merupakan dua hal yang sama-sama menghantarkan tindakan penerjemahan mencapai
sasaran, yakni menyampaikan pesan dan informasi dari pengarang asli kepada khalayak penerima melalui bahasa mereka (bahasa sasaran).
B.
Langkah-langkah dan Model dalam Proses
Penerjemahan
Dr.Ronald H.Bathgate, dalam bukunya berjudul A Survey
of Translation Theory, mengungkapkan tentang tujuh langkah menerjemahkan,
yaitu:
1. Tuning
(Penjajakan)
Tuning atau
penjajakan merupakan langkah untuk menjajaki
atau menyelaraskan bahan yang akan kita terjemahkan dengan bahasa sasaran.
Penyelarasan ini maksudnya adalah dalam konteks makna dan gaya bahasanya. Dalam
tahap ini, diharapkan agar
penerjemah sudah mendapatkan gambaran pilihan kata atau susunan frase dan
kalimat yang selaras dengan bahasa naskah aslinya. Setelah mendapatkan gambaran
tersebut, seorang penerjemah kemudian melanjutkan pada tahap berikutnya, yaitu
penguraian (analysis).
Model
penerjemahan yang termasuk kedalam langkah penjajakan, yaitu:
a. Model
Heurmeunetik
Kata
hermeneutika berasal dari kata kerja dalam bahasa Yunani hermeneuin dan
kata benda hermeneia. Kata ini kerap diterjemahkan dengan mengungkapkan
(to say), menjelaskan (to explain) dan menerjemahkan (to
translate). Dalam bahasa Inggris, terjemahan yang mewakili adalah
to interpret (menginterpretasikan,
menafsirkan, dan menerjemahkan).[1]
Hermeneutik
adalah teori atau ilmu penafsiran lambang atau nas, misalnya lambang atau
naskah yang terdapat dalam Kitab Suci. Menurut model ini hal yang dilakukan
oleh seorang penerjemah dalam proses penerjemahan adalah:
1) Percaya bahwa
amanat dari naskah asli layak untuk disampaikan.
2)
Mendalami atau meresapi maknanya.
3)
Menyajikan dalam bahasa penerima yang berkepentingan.
4)
Menyelaraskan pernyataan amanat dalam bahasa penerima itu dengan
daya tangkap penerima atau dengan situasi penyampaian amanat itu.
Model ini mengedepankan pandangan penerjemah bahwa
penerjemahan naskah asli tersebut memang layak untuk dilakukan, sehingga
penerjemah akan membaca naskah tersebut dengan penuh perhatian dan akan
menerjemahkan dengan setia kepada makna dan gaya bahasa aslinya.
b. Model Situsional
Situasi sangat
menentukan untuk memahami makna suatu ujaran. Ujaran “hebat benar khotbahnya!”
dapat merupakan pujian atau makian, tergantung dari situasinya. Memaknai
sesuatu ujaran dalam bahasa asli harus disesuaikan dengan situasi dimana, kapan
dan keadaan lainnya saat ujaran itu diungkapkan. Hal-hal yang perlu di
perhatikan dalam memaknai secara selaras ujaran tersebut, menurut model ini,
adalah:
1)
Orang mungkin ingin menunjukkan adanya sesuatu, tidak lebih.
2)
Orang sekedar melukiskan sesuatu itu.
3)
Orang melukiskan secara hidup agar berkesan pada pembaca.
4)
Atau ingin mempengaruhi atau mendorong pembaca untuk berbuat.
5)
Atau menata bagaimana menghadapi sesuatu untuk menguasainya.
6)
Atau bertujuan untuk mencapai maksud-maksud tertentu.
7)
Atau sekedar melampiaskan perasaan sehingga orang merasa tidak
harus berbuat apa-apa mengenai hal tersebut.
c.
Model Stilistika
Untuk
dapat dengan tepat menangkap makna ujaran itu, diperlukan juga mengungkap gaya
bahasanya
(style-nya).
Barangkali akan menyesuaikan dengan bentuk gaya bahasa berdasarkan struktur
keseluruhan bahasa sumbernya, atau hanya ingin mengikuti isinya, berbagai kemungkinan
bisa diterapkan, dan gaya bahasa terjemahan menjadi berbeda-beda.
Bagaimanapun, penerjemah
harus berusaha merumuskan kalimat-kalimat dalam bahasa sasaran yang
memiliki kesamaan bentuk dengan bahasa aslinya. Paling tidak harus mendekati
teks bahasa aslinya. Meskipun tidak secara total dan radikal penyelarasan
bentuk itu dilakukan, sebab jika tidak sesuai dengan sifat-sifat atau karakter
bahasa sasaran juga akan merusak pesan yang dimaksudkannya.
Sebenarnya
stilistika dalam penerjemahannya diartikan sebagai seni
menerjemahkan, dan itu sepenuhnya bergantung kepada pengarang. Ada yang menekankan
pada kesamaan bentuk bahasa, ada pula yang memfokuskannya
pada penyampaian isi dan pesan, mungkin juga ada yang lebih mengedapankan kata
perkata dan sebagainya.
2.
Analysis (Penguraian)
Dalam tahap
ini, seorang penerjemah harus menguraikan tiap-tiap kalimat dalam bahasa
sumbernya ke dalam satuan-satuan berupa kata-kata atau frase-frase. Kemudian
menentukan hubungan sintaksis antara berbagai unsur kalimat tersebut.
Penerjemah, dalam tahap ini, juga harus dapat melihat
hubungan antara unsur-unsur dalam bagian teks agar dapat menentukan konsistensi
dalam terjemahannya. Konsistensi dalam pemahaman dan peristilahan akan
memudahkan terjemahan untuk dapat dipahami. Dalam tahap ini, model-model
penerjemahan yang akan digunakan, adalah:
a. Model kata-demi
kata
Model
penerjemahan kata demi kata oleh Larson dan Smalley juga disebut glossing
atau interlinear translation. Di
sini penerjemah mencari ekuivalen kata
satu lawan satu. Model ini tidak dipakai sebagai hasil terjemahan sepenuhnya.
Bagi Baghate sendiri, model kata demi kata atau terjemahan lurus (literal
translation). Merupakan uji pertama terjemahan. Bagi hasilnya memadai, dari
segi makna dan situasi, maka terjemahan itu dianggap sempurna, selesai. Model
kata demi kata juga sebagai rambu-rambu bagi penerjemah agar memperhatikkan
makna kata dan memilih kata yang setepatnya.
b. Model Sintaktik
Model ini
berfokus pada penguraian dengan pemahaman terhadap struktur atau jenis-jenis
kalimat, dari satuan terkecil hingga lebih besar. Hubungan gagasan antara
satuan dan jabatan-jabatan satuan itu, dapat disebut juga dengan deskripsi
struktural. Beberapa kalimat panjang dan memiliki struktur yang rumit sebaiknya
diuraikan terlebih dahulu dengan cara menemukan unsur-unsur pembentuk
kalimatnya untuk dapat lebih memahami maknanya dan mempermudah penyesuaian
bahasa dengan terjemahannya dalam bahasa sasaran. Sesudah struktur kalimat itu
diuraikan, barulah dicari padanannya dalam bahasa sasaran. Apabila itu tidak
dilakukan, maka ada kemungkinan terjemahan akan macet atau hasilnya tidak baik.
c. Model
Transformasional
Dalam model
ini, penerjemah ditekankan untuk memiliki kemampuan untuk mengubah struktur
kalimat rumit ke dalam bentuk yang lebih mudah dipahami. Tidak jarang,
penerjemah harus menyusun sebuah kalimat panjang dalam bahasa sasaran untuk
mempermudah pemahaman hasil terjemahan tanpa mengurangi makna yang tersirat
dalam naskah aslinya. Atau, terkadang pula, penerjemah harus memecah-mecah
kalimat yang rumit dalam bahasa sumber menjadi kernel sentences
(kalimat-kalimat inti), menjadi kalimat-kalimat tunggal sederhana dimana hanya
terdapat satu subjek, satu predikat dan satu objek (bila perlu). Kemudian, kernel
sentences tersebut ditransfer ke dalam bahasa sasaran dengan sesedikit
mungkin pemincangan arti dan konotasi.
3.
Understanding (Pemahaman)
Dalam tahap ini seorang penerjemah diharapkan agar:
·
Memahami isi bahan yang akan diterjemahkan.
·
Menangkap gagasan-gagasan utama dalam tiap paragraf dan
ide-ide pendukung dan pengembangnya; ia harus menangkap hubungan gagasan satu
sama lain dalam tiap paragraf dan antar paragraf.
·
Penerjemah yang ideal adalah penerjemah yang sebidang
ilmu dengan pengarang karangan yang akan diterjemahkan, atau sekurang-kurangnya
harus mempunyai pengetahuan umum yang memadai.
Model-model
penerjemahan dalam tahap ini, adalah:
a. Model Interlingua
Model ini
meminta adanya suatu bahasa lain di luar bahasa sumber dan bahasa sasaran untuk
menjadi pendukung kedekatan suatu arti atau makna antara bahasa sumber dan
bahasa sasaran. Adakalanya beberapa kata dalam bahasa sumber, dalam bahasa
sasarannya tidak mempunyai istilah kata yang tepat dan memiliki kedekatan
makna. Oleh karena itu penerjemah menerapkan model ini untuk menemukan kata
yang memiliki makna yang lebih dekat atau sesuai dengan yang dimaksudkan di
dalam bahasa sumber.
b. Model Semantik.
Model ini
menekankan pada pemilihan penggunaan kata yang sesuai dengan apa yang
dilambangkannya karena satu kata dalam bahasa apapun, pada umumnya tidak hanya
melambangkan satu hal tertentu saja. Dalam
hal ini, penerjemah harus memahami kata-kata dalam bahasa sumber sesuai dengan
apa yang dilambangkannya, lalu mengungkapkan dengan gagasan yang sama pula dalam
bahasa sasaran. Kesalahan dalam pengacuan terhadap lambang, situasi, benda atau
proses yang dimaksudkan dalam bahasa sumber, dapat mengakibatan pelencengan
makna.
c.
Model Teori Informasi
Teori informasi
itu aslinya bersangkut paut dengan telekomunikasi dan dikembangkan oleh Weaver
dan Shannon. Dalam teori informasi ini dikemukakan perlu dan pentingnya
redundancy ‘’informasi berlebih”. Maksudnya, agar pesan dapat dipahami, dengan
ungkapan bahasa, informasi yang sekedarnya mungkin kurang memuaskan, maka perlu
ada tambahan keterangan.
Dalam
model ini dikemukakan pentingnya redundancy atau informasi berlebih agar suatu
pesan dapat dipahami dengan lebih jelas dan disampaikan dengan gaya bahasa yang
sesuai dengan tingkat pemahaman penerima dalam bahasa sasaran.
4.
Terminology (Peristilahan)
Dalam
tahap ini, penerjemah memikirkan pengungkapan terjemahan ke dalam bahasa
sasaran. Terutama berfokus pada menemukan istilah-istilah, ungkapan-ungkapan
yang tepat, cermat dan selaras dalam bahasa sasaran. Kata yang penerjemah
gunakan jangan sampai menyesatkan, menertawakan atau menyinggung perasaan
pengguna bahasa sasaran. Penerjemahan dalam tahap ini dilakukan dengan model
penerjemahan nomenklatif.
a.
Model Teori Nomenklatif
Model penerjemahan nomenklatif ini menekankan agar seorang
penerjemah menggunakan istilah-istilah teknis yang sesuai dengan
istilah-istilah yang digunakan dalam cabang ilmu tertentu. Misalnya dalam
bidang psikologi, seorang penerjemah harus menerjemahkan istilah-istilah
tertentu dengan padanan istilah tersebut dalam bahasa sasaran. Penerjemah dapat
menggunakan acuan lain seperti kamus istilah, jika belum mengetahui istilah
yang tepat dalam bahasa sasaran.
Jika penerjemah menemukan
istilah yang tidak teknis, maka ia dapat menerjemahkannya secara
harfiah saja. Jika bertemu dengan istilah teknis,
penerjemah harus mencari padanannya dalam bahasa sasaran dari kamus istilah.
Jika tidak menemukan istilah teknis itu dimanapun, penerjemah dapat bertanya
kepada seorang ahli. Jika istilahnya belum ada, atau belum ada yang baku,
penerjemah dapat membentuk istilah sendiri.
5.
Restructuring (Perakitan)
Dalam
tahap ini, penerjemah menyusun kembali semua yang sudah dirancangkan,
disesuaikan, dan diselaraskan dengan bahasa sasaran. Penerjemah diharapkan
untuk mengikuti gaya bahasa pengarang. Jika pengarang dalam karangan aslinya
menggunakan gaya realis, maka penerjemah harus mengunakan gaya realis dalam
terjemahannya. Kesesuaian gaya ini sangat berpengaruh terhadap mutu
terjemahannya. Dalam tahap ini, model-model penerjemahan yang digunakan antara
lain:
a.
Model Modulasi
Model modulasi adalah penggunaan ungkapan-ungkapan yang berbeda
dalam bahasa sasaran, namun memiliki pengertian yang sama dengan
ungkapan-ungkapan dalam bahasa sumber. Model ini timbul dari kebutuhan untuk
mengatakan sesuatu dengan cara yang berbeda-beda dalam bahasa yang
berbeda-beda. Misalnya, dalam bahasa Inggris “It is raining cats and dogs”
memiliki terjemahan yang tepat dalam bahasa indonesia sebagai “Hujan seperti
dicurahkan dari langit.” Penerjemah perlu melengkapi diri dengan kamus idiom
atau kamus ungkapan, misalnya American Idioms Dictionary, yang disusun oleh
Oemar Ali, atau kamus idiom lainnya.[2]
b. Model Generatif
Model generatif
dalam penerjemahan adalah penggunaan pola yang berbeda dalam struktur kalimat
namun dengan kesamaan makna. Model ini diperlukan karena banyaknya pola kalimat
yang tidak sama antara satu bahasa dengan bahasa lainnya. Misalnya, kalimat
“Those French cigarettes make a terrible smell”. Bila kita memutuskan smell
(bau) menjadi subjek kalimat, maka akan dihasilkan terjemahan: “Bau rokok
Prancis itu amat tidak enak.” Namun, jika kita memutuskan untuk memulai
terjemahan dengan French cigarettes (rokok Prancis) maka terjemahan yang
dihasilkan: “Rokok Prancis itu amat tidak enak baunya” atau “Rokok Prancis itu
mengeluarkan bau yang sangat tidak enak.” Dalam penerjemahan dengan model
generatif ini, penerjemah diharuskan untuk memiliki kemampuan untuk menyusun
kalimat bermakna sama dalam berbagai bentuk.[3]
c.
Model Integral
Model ini muncul karena kebutuhan penerjemahan yang menyeluruh dan menjamin terjaganya konsistensi
dan keindahan dalam bahasa terjemah. Dan model ini diperlukan bila hendak
menerjemahkan teks seperti sajak-sajak atau puisi.
6. Checking
(Pengecekan)
Dalam tahap
ini, penerjemah memeriksa kembali hasil terjemahan pertama dalam draft pertama.
Penerjemah menandai kesalahan-kesalahan pada bagian-bagian terjemahan.
Kesalahan dalam penulisan kata, pemakaian tanda baca, dan susunan-susunan
kalimatnya untuk menghasilkan kalimat yang efektif. Dalam
mengecek terjemahan ada dua model penerjemahan yang dianjurkan, yaitu model normatif
dan model pengecekan tiga-tahap.
a. Model Normatif dan Model Pengecekan Tiga
Dua model ini
untuk mengecek hasil terjemah, dari segi ketepatan linguistik dan faktanya dan
pengecekan sesuai dengan tujuannya untuk menilai baik tidaknya terjemahan, di lakukan
sesuai dengan petunjuk-petunjuk penerjemahan (normatif).pengecekan tiga tahap
dilakukan dengan pertama menilai apakah lurus menyampaikan makna yang di
maksud. Jika belum, maka di perlukan penciptaan bentuk lain meskipun menyimpang
dari bentuk aslinya tapi mendukung makna yang di maksudkan. kemudian bentuk
baru tersebut di cek kembali, apakah sudah sesuai dengan situasinya.
7. Discussion
(Pembicaraan)
Dalam tahap
akhir dari penerjemahan naskah ini, penerjemah mendiskusikan dengan orang lain
mengenai hasil terjemahan. Baik menyangkut isi maupun menyangkut bahasa
terjemahannya. Dalam hal ini, disarankan untuk tidak melibatkan terlalu banyak
orang. Cukup beberapa orang yang berkompeten saja, untuk menghindari perusakan
dengan terlalu banyak masukan yang membuat bingung. Tahap ini sebaiknya dilakukan dengan model
interaktif. Dalam perbincangan interaktif, penerjemah dan pihak lain yang
disebut sebagai penasehat yang ahli di bidang yang bersangkutan, saling
bertukar informasi demi memperkecil kemungkinan adanya penyelewengan arti dalam
hasil terjemahannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
·
Untuk mempermudah dalam menerjemahkan, sebaiknya
penerjemah mengikuti langkah-langkah dan metode-metode (model) dalam
menerjemahkan, diantaranya:
1. Penjajakan
a. Model hermeunetik
b. Model situasional
c. Model stilistika
2. Penguraian
a. Model kata demi kata
b. Model sintaktik
c. Model transformasional
3. Pemahaman
a. Model intelingua
b. Model semantik
c. Model teori informasi
4. Peristilahan
a. Model nomenklatif
5. Perakitan
a. Model modulasi
b. Model generatif
c. Model integral
6. Pengecekan
a. Model normatif dan model pengecekan tiga
tahap: terjemah kata, terjemah makna, terjemah situasi
7. Pembicaraan atau diskusi
a. Model interaktif
DAFTAR PUSTAKA
Akmaliyah. 2012. Wawasan dan Teknik Terampil Menerjemahkan.
Bandung: Pustaka
Al-Kassyaf.
Musnur Hery dan Damanhuri M. 2003. Hermeneutika
Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widyamartay, A. 2003. Seni Menuangkan Gagasan. Yogyakarta:
Kanisius.
[1]Musnur Hery, Damanhuri M, “Hermeneutika Teori
Baru Mengenai Intrepetasi”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar